This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Showing posts with label Umum. Show all posts
Showing posts with label Umum. Show all posts
Monday, 10 June 2013
Aneka Alasan Telat yang Biasa Digunakan Orang
00:02
Unknown
No comments
Terlambat
alias Telat atau di istilahkan dengan jam karet bisa dikatakan sebagai
nama marga bagi penduduk Indonesia. Belum Indonesia banget kalau belum
pernah melakoni peran terlambat alias telat.
Lebih parah pagi bagi mereka yang
tinggal di Ibukota Jakarta. Segala hal di Jakarta yang hiruk pikuk ini
susah diprediksi, jalanannya, cuacanya dan segala macamnya. Hal ini
membuat keterlambatan menjadi stempel permanen di jidat hampir setiap
orang di Jakarta. Nah, kalo sudah telat, biasanya akan banyak keluar excuse alias ribuan alasan dari mulut pihak yang telat. Berikut adalah aneka alasan telat yang biasa digunakan oleh orang.
Ini adalah sebuah alasan yang paling
sering digunakan oleh orang ketika telat, sampai-sampai kalo kamu
menggunakan alasan ini ketika telat sekolah, palingan guru kamu cuma
bilang, “Jakarta emang macet, kenapa gak berangkat lebih pagi?!”.
Sesungguhnya, terkadang jalanan di Jakarta memang aneh. Jalanan yang
biasanya gak macet sekalipun bisa tiba-tiba jadi macet luar biasa dengan
ajaibnya. Jadi yah…sebasi-basinya alasan yang satu ini, sampai kapanpun
akan tetap valid jika dikatakan di Jakarta.
Alasan ini banyak digunakan orang
karena kamu gak bisa marah dong kalo dia harus nganter anggota
keluarganya ke suatu tempat terlebih dahulu. Kalo kamu sampe marah, dia
bisa bilang “Yah, itu kan nyokap gue. Moso gak gue anterin?!” Nah
sekarang jadi kamu yang salah kan. Alasan ini bisa dikatakan sebagai
salah satu alasan pamungkas, karena agak sulit juga dikorek
kebenarannya. Ya bisa aja sih kalo mau, tapi kamu jadi kesannya gak
percayaan gitu.
Ini adalah alasan yang populer setelah
tahun ’98, sebuah masa dimana demo di jalan raya mulai ngetrend. Alasan
ini cukup beresiko karena yang namanya demo biasanya selalu masuk
berita, dan dengan demikian gampang sekali dikroscek. Kalo mau pake
alasan seperti ini, ada baiknya memang saat ada demo beneran.
Alasan ini hanya berlaku bagi orang
yang memang tinggal di daerah-daerah banjir, seperti misalnya Pulo Raya,
Kelapa Gading, atau Pluit. Kalo kamu tinggal di daerah yang hampir gak
pernah banjir seperti misalnya Cinere gitu, pastinya alasan kamu ini
akan jadi kurang valid. Gunakan alasan ini dengan cerdas.
Ini adalah alasan yang biasa digunakan
orang ketika dia sudah telat lama sampe ditelpon dan ditanya posisinya
oleh pihak-pihak yang menunggu. Biasanya alasan ini keluar kalo si orang
yang telat emang telat tanpa alasan yang valid dan dia belum menyiapkan
alasan. Alasan ini akan menimbulkan kesan misterius, tapi sekaligus
memberikan waktu bagi si orang telat untuk mengarang cerita yang keren.
Sesungguhnya yang satu ini bukan
alasan dan lebih ke basa-basi aja sih. Ada baiknya sih sebelum kamu
berbasa-basi seperti ini, kamu lihat jam dulu dan menilai sendiri: sudah
berapa lama kamu telat. Kalo kamu telat lebih dari satu jam, lebih baik
kamu diem aja dan langsung traktir makan orang yang kamu biarkan
menunggu itu.
Nah itu dia aneka alasan yang sering digunakan orang ketika telat. Kamu punya alasan lain? Boleh lho dishare.
Thursday, 2 May 2013
Kebohongan pemerintah tentang subsidi BBM
01:27
Unknown
No comments
Kreativitas Fiskal dan Pembodohan Terhadap Masyarakat (Bagian 1)
Seorang Sultan dari Negeri RI memiliki tanah yang sangat subur tetapi awalnya tidak sadar atas karunia tersebut. Sultan didatangi oleh orang asing yang ingin mengelola tanah nan subur tersebut dengan cara bagi hasil dengan pembagian 30% untuk asing dan 70% untuk Sultan.
Seorang Sultan dari Negeri RI memiliki tanah yang sangat subur tetapi awalnya tidak sadar atas karunia tersebut. Sultan didatangi oleh orang asing yang ingin mengelola tanah nan subur tersebut dengan cara bagi hasil dengan pembagian 30% untuk asing dan 70% untuk Sultan.
Dari pengelolaan tanah tersebut diperoleh hasil sebanyak 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30 unit untuk pengelola (mitra asing) dan 70 unit untuk Sultan. Dengan demikian, Sultan memperoleh 70 unit MB tanpa mengeluarkan biaya sama sekali (biaya = Rp 0). Sultan merasa sangat beruntung dengan kerja sama tersebut.
Sultan sadar bahwa Produk MB ini sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, dan berjanji akan menggunakannya demi kepentingan, dan untuk kesejahteraan, Rakyat RI. Oleh karena itu, Sultan memutuskan untuk menjual Produk MB tersebut di dalam negeri dengan harga jual eceran Rp 1.000 per unit, sehingga Sultan memperoleh Pendapatan sebesar Rp 70.000 (untuk 70 unit), tanpa mengeluarkan biaya pengelolaan tanah (produksi). Untuk menjual Produk tersebut kepada masyarakat, Sultan memerlukan Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) sebesar Rp 10.000 per tahun, sehingga tingkat keuntungan Sultan menjadi sebesar Rp 60.000, seperti perhitungan berikut ini:
Pendapatan (Penerimaan) Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 -/-
Laba (atau Surplus) Rp 60.000
Penciptaan istilah “Subsidi”
Sultan diberitahu oleh Para Pembantunya bahwa harga Produk MB di luar negeri ternyata Rp 2.000 per unit. Namun, Sultan sadar sekali bahwa harga jual tersebut terlalu tinggi untuk di dalam negeri.
Sultan adalah seorang yang sangat kreatif, dan berpikir untuk mendirikan sebuah perusahaan, PT Pert-MB, yang ditugaskan khusus untuk menjual dan mendistribusikan Produk MB di dalam negeri. Karena harga Produk MB di luar negeri sebesar Rp 2.000 per unit, maka Sultan memutuskan untuk menjualnya kepada PT Pert-MB dengan harga internasional tersebut. Tetapi, Sultan sangat sadar bahwa rakyatnya tidak mampu membeli Produk MB dengan harga Rp 2.000 per unit, dan menginstruksikan kepada PT Pert-MB untuk menjualnya kepada rakyat dengan harga Rp 1.000.
PT Pert-MB tidak ada pilihan lain dan harus mentaati keputusan ini, yaitu membeli Produk MB dari Sultan dengan harga Rp 2.000 per unit dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga Rp 1.000 per unit. Oleh karena itu, PT Pert-MB tentu saja akan mengalami kerugian sebesar Rp 1.000 per unit atau Rp 70.000 untuk 70 unit. Ditambah Biaya Operasional sebesar Rp 10.000 per tahun maka total kerugian PT Pert-MB akan menjadi Rp 80.000, di mana kerugian ini akan diganti sepenuhnya oleh Sultan dengan istilah “Subsidi MB”. Dengan bangga Sultan kemudian berkata kepada rakyatnya bahwa sekarang Sultan memberi “Subsidi MB” kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) sebesar Rp 80.000 per tahun. “Subsidi MB”inilah yang selalu dikomunikasikannya kepada masyarakat, dan masyarakat sangat senang atas kebaikan hati Sultan.
Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian MB dari Sultan Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 70.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 80.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 80.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Akan tetapi, benarkah demikian? Seorang ekonom, KKG, yang sangat kritis terhadap hitung-hitungan seperti ini dibuat terheran-heran, dan bertanya-tanya, mengapa negeri nan subur ini memerlukan subsidi Produk MB dari Sultan: pada awalnya Sultan memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000, tetapi kemudian berbalik menjadi memberi “Subsidi” sebesar Rp 80.000 (yang dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai Kerugian), sedangkan di dalam praktek sehari-hari KKG tidak melihat ada perubahan apapun pada penjualan Produk MB di dalam negeri, baik dalam jumlah produksi, konsumsi maupun harga per unit produk MB.
Selidik punya selidik, KKG kemudian memperoleh fakta dari Nota Keuangan
Sultan di mana tercatat ada Pendapatan yang berasal dari penjualan
Produk MB kepada PT Pert-MB sebesar Rp 140.000 per tahun, yaitu 70 unit @
Rp 2.000. Di samping itu, dalam Nota Keuangan yang sama KKG juga
melihat ada Belanja “Subsidi MB” kepada PT Pert-MB sebesar Rp 80.000 per
tahun.
Dengan demikian, Sultan seharusnya masih memperoleh Surplus sebesar Rp
60.000 (persis seperti pada awal transaksi sebelum PT Pert-MB
didirikan).
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 80.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 80.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000
Oleh karena itu, KKG kemudian mengambil kesimpulan bahwa subsidi yang
di-claim oleh Sultan selama ini sebenarnya hanyalah sebuah ilusi saja,
imajinasi saja. Subsidi tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Faktanya,
Sultan malah memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000 per tahun
seperti perhitungan yang ada dalam Nota Keuangan Sultan yang ditampilkan
oleh KKG di atas.
Istilah “Subsidi” yang Semakin Populer, dan Pembodohan terhadap Masyarakat Sangat mengejutkan, harga Produk MB di luar negeri naik pesat menjadi Rp
2.400 per unit pada tahun berikutnya. Melihat perkembangan tersebut,
Sultan kemudian meminta PT Pert-MB untuk membeli Produk tersebut dengan
harga yang sama dengan harga luar negeri, yaitu Rp 2.400 per unit,
tetapi menginstruksikannya untuk menjualnya di pasar domestik dengan
harga yang sama, yaitu Rp 1.000 per unit, di mana total Kerugian PT
Pert-MB tersebut akan diganti sepenuhnya (dengan kata lain,
di-“subsidi”) oleh Sultan. Oleh karena itu, total kerugian PT Pert-MB
yang akan “disubsidi” oleh Sultan menjadi Rp 108.000 seperti perhitungan
berikut:
Sultan kemudian dengan bangga mengumumkan kepada Rakyat RI bahwa “Subsidi” yang diberikan oleh Sultan kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) meningkat dari Rp 80.000 menjadi Rp 108.000 karena harga Produk MB di dalam negeri tidak dinaikkan sesuai harga di luar negeri (artinya, harga Produk MB di dalam negeri tetap Rp 1.000 per unit). KKG sekali lagi mengintip Nota Keuangan Sultan, dan menyajikan data tersebut sebagai berikut.
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 108.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) ./-
Laba (Surplus) Rp 60.000
Kesimpulan
Ternyata, KKG melihat fakta (dari Nota Keuangan Sultan) bahwa Sultan masih tetap memperoleh surplus sebesar Rp 60.000: yaitu, penjualan kepada PT Pert-MB sebesar Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) dikurangi “Subsidi MB’ kepada masyarakat sebesar Rp 108.000).
KKG mengangguk-angguk tanda mengerti, dan dalam batin dia mengatakan: tentu saja surplus tersebut tidak berubah, yaitu tetap Rp 60.000, karena kondisi di dalam negeri juga tidak berubah, dan sangat jelas bahwa kondisi di luar negeri tidak ada hubungannya dengan di dalam negeri.
Tetapi, kebanyakan masyarakat, termasuk para intelektual, sudah sangat terpikat dengan pencitraan Sultan yang dianggap sangat bermurah hati karena memberi “Subsidi MB” kepada masyarakat dalam jumlah besar.
Tetapi, sangat sayang bagi Sultan bahwa pembodohan ini tidak akan berlangsung lama lagi karena masyarakat sudah mulai tersentak dan tersadar dengan data yang disajikan oleh KKG, bahwa selama ini mereka dibodohi saja dengan istilah “Subsidi MB”. Kita tunggu saja reaksi masyarakat selanjutnya.
Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan Produk MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian Produk MB dari Sultan Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 98.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 108.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 108.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Penjualan Produk MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian Produk MB dari Sultan Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 98.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 108.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 108.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Sultan kemudian dengan bangga mengumumkan kepada Rakyat RI bahwa “Subsidi” yang diberikan oleh Sultan kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) meningkat dari Rp 80.000 menjadi Rp 108.000 karena harga Produk MB di dalam negeri tidak dinaikkan sesuai harga di luar negeri (artinya, harga Produk MB di dalam negeri tetap Rp 1.000 per unit). KKG sekali lagi mengintip Nota Keuangan Sultan, dan menyajikan data tersebut sebagai berikut.
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 108.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) ./-
Laba (Surplus) Rp 60.000
Kesimpulan
Ternyata, KKG melihat fakta (dari Nota Keuangan Sultan) bahwa Sultan masih tetap memperoleh surplus sebesar Rp 60.000: yaitu, penjualan kepada PT Pert-MB sebesar Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) dikurangi “Subsidi MB’ kepada masyarakat sebesar Rp 108.000).
KKG mengangguk-angguk tanda mengerti, dan dalam batin dia mengatakan: tentu saja surplus tersebut tidak berubah, yaitu tetap Rp 60.000, karena kondisi di dalam negeri juga tidak berubah, dan sangat jelas bahwa kondisi di luar negeri tidak ada hubungannya dengan di dalam negeri.
Tetapi, kebanyakan masyarakat, termasuk para intelektual, sudah sangat terpikat dengan pencitraan Sultan yang dianggap sangat bermurah hati karena memberi “Subsidi MB” kepada masyarakat dalam jumlah besar.
Tetapi, sangat sayang bagi Sultan bahwa pembodohan ini tidak akan berlangsung lama lagi karena masyarakat sudah mulai tersentak dan tersadar dengan data yang disajikan oleh KKG, bahwa selama ini mereka dibodohi saja dengan istilah “Subsidi MB”. Kita tunggu saja reaksi masyarakat selanjutnya.
Selang akhir tahun, harga Produk MB di pasar internasional naik lagi
dengan pesat dan pada puncaknya mencapai Rp 3.000 per unit. Pembantu
Sultan yang menangani masalah keuangan diminta nasehatnya mengenai
dampak kenaikan harga Produk MB di pasar internasional terhadap keuangan
Sultan.
Pembantu Keuangan Sultan mengerti keinginan Sultan bahwa harga jual
Produk MB kepada PT Pert-MB adalah berdasarkan harga internasional,
yaitu Rp 3.000 per unit, tetapi, harga jual dari PT Pert-MB kepada
masyarakat adalah Rp 1.000 per unit (yang disebut sebagai harga
ber-“subsidi”). Harga jual Produk MB kepada PT Pert-MB dengan harga
pasar internasional, meskipun hanya sebagai ilusi, sudah dilakukan sejak
lama (karena itulah yang selalu dikatakan oleh Pembantu Keuangan
terdahulu, dengan alasan bahwa Sultan sesungguhnya dapat menjual Produk
MB di luar negeri dengan harga pasar internasional karena Produk MB
sudah menjadi komoditas vital dunia yang paling dicari).
Atas dasar asumsi harga jual tersebut, Pembantu Keuangan Sultan kemudian
menghitung, dan sangat terkejut sekali melihat hasil hitungannya
sendiri. Dengan tergopoh-gopoh, Pembantu Keuangan menghadap Sultan dan
mengatakan apabila Sultan tidak menaikkan harga MB di dalam negeri maka
Sultan akan mengalami kesulitan keuangan, alias keuangan Sultan akan
jebol, karena Sultan harus menanggung beban ”Subsidi MB” yang sangat
luar biasa besarnya, yaitu dari Rp 108.000 menjadi Rp 150.000, naik
hampir 50%, seperti terlihat dalam perhitungan berikut:
Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian MB dari Sultan Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 140.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 150.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 150.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian MB dari Sultan Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 140.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 150.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 150.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Melihat hasil perhitungan tersebut, Sultan langsung tampil di depan
publik dan berpidato (sambil berkeluh kesah) bahwa sekarang ini keuangan
Sultan sedang mengalami permasalahan yang sangat serius akibat kenaikan
harga Produk MB di pasar internasional. Beban “Subsidi MB” yang harus
ditanggung oleh Sultan menjadi sangat berat, dan oleh karena itu, Sultan
berharap Rakyat RI dapat memakluminya apabila harga Produk MB di dalam
negeri dengan terpaksa dinaikkan untuk menyelamatkan keuangan Sultan,
seraya menambahkan: “Sultan mana yang senang atau gembira menaikkan
harga MB di pasar domestik?”
Sekali lagi, ekonom KKG terheran-heran dibuatnya, dan tidak mengerti
bagaimana kondisi di dalam negeri yang tidak berubah dapat mengakibatkan
“Subsidi MB” meningkat seiring dengan meningkatnya harga internasional.
Berdasarkan perhitungannya, Produk MB itu merupakan hasil dari tanah nan
subur milik sendiri, milik Rakyat RI, oleh karena itu, tidak ada
hubungannya dengan Produk MB di luar negeri, dan tidak ada hubungannya
dengan gejolak harga internasional. KKG sempat berpikir, apa saya yang
bodoh sehingga tidak dapat mengikuti perhitungan yang disajikan oleh
Para Pembantu Sultan.
Dengan rasa heran dan penuh rasa ingin tahu, KKG sekali lagi mengintip
Nota Keuangan Sultan yang terbaru. Setelah mempelajarinya, KKG
terperangah karena melihat fakta bahwa sebenarnya Sultan masih mengalami
Laba (atau Surplus) sebesar Rp 60.000, persis sesuai prediksinya, yaitu
surplus tersebut tidak mengalami perubahan apapun dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. KKG mengutip hitungan dalam Nota Keuangan Sultan
terkait Produk MB yang kemudian disajikan seperti berikut ini:
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 150.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 150.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000
Tetapi, siapa yang mau mendengar KKG yang dianggap oleh banyak kalangan
tidak mengerti permasalahan keuangan negara yang sangat rumit. Melalui
Perwakilan Para Rakyat, maka disetujui harga Produk MB di pasar domestik
naik dari Rp 1.000 per unit menjadi Rp 1.500 per unit untuk
mempersempit perbedaan harga domestik dengan harga internasional, demi
menyelamatkan Anggaran Keuangan Sultan.
Menurut Pembantu Keuangan Sultan, dampak kenaikan harga domestik
tersebut dapat mengurangi “Subsidi MB” dari Rp 150.000 menjadi Rp
115.000 (lihat hitungan di bawah), tetapi tetap lebih tinggi dari jumlah
“subsidi” sebelumnya yang sebesar Rp 108.000.
Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 105.000 (70 unit @ Rp 1.500)
Pembelian MB dari Sultan Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 105.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 115.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 115.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 105.000 (70 unit @ Rp 1.500)
Pembelian MB dari Sultan Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 105.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 115.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 115.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Secara diam-diam, karena masih merasa tidak mengerti alur pikirin Sultan
serta pembantunya terkait “Subsidi MB”, sekali lagi KKG mencoba melihat
dampak kenaikan harga Produk MB di pasar domestik terhadap Nota
Keuangan Sultan, dan menemukan sebagai berikut:
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 115.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas)
Laba (Surplus) Rp 95.000
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 115.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas)
Laba (Surplus) Rp 95.000
Ternyata, setelah kenaikan harga Produk MB di pasar domestik menjadi Rp
1.500 per unit, Laba (Surplus) yang diperoleh Sultan mengalami kenaikan
dari Rp 60.000 (sebelum kenaikan harga) menjadi Rp 95.000. Kenaikan
Surplus ini sebesar kenaikan harga domestik dikalikan jumlah unit
penjualan (Rp 500 x 70 unit = Rp 35.000).
KKG melihat bahwa konsep penyusunan anggaran seperti yang disajikan oleh
Sultan dengan istilah “Subsidi” merupakan pembodohan yang luar biasa
terhadap masyarakat, karena sebenarnya Sultan mengalami Surplus dari
pengeloaan tanah yang dilakukan Mitra Asing yang menghasilkan Produk MB,
meskipun harga jual di dalam negeri lebih rendah dari harga
internasional.
Oleh karena itu, istilah “Subsidi MB” dapat dikatakan pembohongan besar terhadap masyarakat.
Oleh karena itu, istilah “Subsidi MB” dapat dikatakan pembohongan besar terhadap masyarakat.
Intinya, KKG mengatakan bahwa pengeluaran “Subsidi MB” dalam Anggaran
Belanja Sultan adalah tidak riil karena tidak ada uang yang dikeluarkan.
“Subsidi MB” ini akan dikompensasikan dengan penerimaan dari PT Pert-MB
(yang juga tidak riil). Satu-satunya yang riil dalam Anggaran Penerimaan
dan Belanja Sultan adalah Surplus (atau Laba) sebesar Rp 60.000 sebelum
terjadi kenaikan harga di pasar domestik, atau Rp 95.000 setelah
terjadi kenaikan harga. Tetapi, anehnya Surplus yang riil ini tidak
pernah disebut secara eksplisit di dalam Nota Keuangan Sultan, melainkan
harus dicari dan dihitung sendiri, seperti yang dilakukan oleh KKG.
Benar-benar sebuah usaha pengaburan perhitungan yang sempurna.
Ringkasan bagian sebelumnya, Sultan Negeri RI bekerja sama dengan Mitra
Asing mengelola tanah nan subur ini, dan menghasilkan 100 unit Produk MB
per tahun dengan pembagian 30%, atau 30 unit, untuk Mitra Asing dan
70%, atau 70 unit, untuk Sultan. Pada awalnya, 70 unit Produk MB ini
jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Tetapi, perkembangan akhir-akhir ini cukup membuat Sultan pusing. Pasalnya, produksi dalam negeri menurun, sedangkan Mitra Asing juga meminta bagi hasil produksi dirubah akibat biaya kelola tanah (yang dinamakan cost recovery) meningkat: bagi hasil yang pada awal kesepakatan sebesar 30% untuk Mitra Asing dan 70% untuk Sultan minta dirubah menjadi 33,33% (atau 1/3 bagian) untuk Mitra Asing dan 66,67% (atau 2/3 bagian) untuk Sultan. Selain itu, permintaan konsumsi Produk MB di dalam negeri meningkat sehingga kebutuhan dalam negeri tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri, tetapi harus dipenuhi juga dari impor. Negeri RI sekarang sudah menjadi negara Net Importir Produk MB.
Tetapi, perkembangan akhir-akhir ini cukup membuat Sultan pusing. Pasalnya, produksi dalam negeri menurun, sedangkan Mitra Asing juga meminta bagi hasil produksi dirubah akibat biaya kelola tanah (yang dinamakan cost recovery) meningkat: bagi hasil yang pada awal kesepakatan sebesar 30% untuk Mitra Asing dan 70% untuk Sultan minta dirubah menjadi 33,33% (atau 1/3 bagian) untuk Mitra Asing dan 66,67% (atau 2/3 bagian) untuk Sultan. Selain itu, permintaan konsumsi Produk MB di dalam negeri meningkat sehingga kebutuhan dalam negeri tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri, tetapi harus dipenuhi juga dari impor. Negeri RI sekarang sudah menjadi negara Net Importir Produk MB.
Dari data terakhir tercatat bahwa hasil produksi pengelolaan tanah hanya
mencapai 90 unit Produk MB. Dengan kesepakatan bagi hasil yang
terakhir, Mitra Asing memperoleh 1/3 bagian atau 30 unit Produk MB,
sedangkan Sultan akan memperoleh 2/3 bagian atau 60 unit Produk MB.
Seluruh Rakyat RI tidak ada yang mengetahui, secara sadar atau tidak
sadar, bahwa penurunan produksi hasil kelola Mitra Asing dari 100 unit
menjadi 90 unit tidak membuat bagian perolehan Mitra Asing turun: Mitra
Asing tetap memperoleh 30 unit. Artinya, seluruh penurunan produksi
tersebut dibebankan kepada Sultan melalui kesepakatan bagi hasil yang
baru akibat cost recovery naik.
Bukan sulap dan bukan magic, tetapi nyata terjadi di Negeri RI yang
tercinta ini: penurunan produksi yang dilakukan oleh Mitra Asing sebagai
pengelola tanah tidak membuat perolehan mereka turun.
Seperti diuraikan di atas, konsumsi Produk MB di dalam negeri meningkat
terus dari 70 unit per tahun menjadi 75 unit per tahun. Karena Sultan
sekarang hanya memperoleh 60 unit dari pengelola Mitra Asing, maka
Sultan harus mengimpor Produk MB sebanyak 15 unit untuk memenuhi total
kebutuhan dalam negeri.
Nasib baik tidak berpihak pada Sultan, harga Produk MB di luar negeri
naik sangat pesat belakangan ini, menjadi rata-rata Rp 4.000 per unit
dari (harga sebelumnya sebesar Rp 3.000 unit). Melihat perkembangan yang
sangat mengkhawatirkan ini, Pembantu Keuangan Sultan mulai menghitung
apakah keuangan Sultan masih aman. Seperti biasa, Pembantu Keuangan
sangat terperanjat melihat hasil perhitungannya, dan segera menghadap
Sultan, melaporkan bahwa posisi keuangan Sultan dalam bahaya besar dan
akan jebol apabila harga Produk MB di dalam negeri (yang sebesar Rp
1.500 per unit) tidak dinaikkan: “Subsidi MB” akan melonjak lagi, dan
kali ini tidak tanggung-tanggung, dari Rp 115.000 pada tahun sebelumnya
menjadi Rp 197.500 pada tahun ini, seperti terlihat dalam perhitungan di
bawah ini.
Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat (75 unit @ Rp 1.500) Rp 112.500
Pembelian MB dari Sultan (60 unit @ Rp 4.000) Rp 240.000
Pembelian MB Impor (15 unit @ Rp 4.000) Rp 60.000 +/+
Total Pembelian MB Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 187.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 197.500
“Subsidi” dari Sultan Rp 197.500 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Penjualan MB kepada masyarakat (75 unit @ Rp 1.500) Rp 112.500
Pembelian MB dari Sultan (60 unit @ Rp 4.000) Rp 240.000
Pembelian MB Impor (15 unit @ Rp 4.000) Rp 60.000 +/+
Total Pembelian MB Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 187.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 197.500
“Subsidi” dari Sultan Rp 197.500 -/-
Total Rp 0 (nihil)
Mendengar laporan tersebut, Sultan langsung segera tampil di depan
publik, tentu saja sambil berkeluh kesah seperti biasanya, menyampaikan
bahwa keuangan negara sedang mengalami kesulitan yang maha dahsyat
akibat kenaikan harga Produk MB di luar negeri yang sangat tinggi,
ditambah jumlah impor yang cukup tinggi karena konsumsi dalam negeri
meningkat sedangkan produksi dalam negeri menurun sehingga seluruh
kebutuhan dalam negeri tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam
negeri.
Sekali lagi, Sultan mohon dengan sangat agar Rakyat RI dapat mengerti
bahwa harga Produk MB di pasar domestik terpaksa harus dinaikkan lagi,
menjadi Rp 2.500 per unit, demi menyelamatkan keuangan Sultan. Dengan
cara ini diharapkan beban “Subsidi MB” dapat ditekan untuk tidak naik
terlalu tajam, hanya naik dari Rp 115.000 menjadi Rp 122.500, seperti
terlihat pada perhitungan di bawah ini:
Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat (75 unit @ Rp 2.500) Rp 187.500
Pembelian MB dari Sultan (60 unit @ Rp 4.000) Rp 240.000
Pembelian MB Impor (15 unit @ Rp 4.000) Rp 60.000 +/+
Total Pembelian Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 112.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 122.500
“Subsidi” dari Sultan Rp 122.500
Total Rp 0 (nihil)
Penjualan MB kepada masyarakat (75 unit @ Rp 2.500) Rp 187.500
Pembelian MB dari Sultan (60 unit @ Rp 4.000) Rp 240.000
Pembelian MB Impor (15 unit @ Rp 4.000) Rp 60.000 +/+
Total Pembelian Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 112.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 122.500
“Subsidi” dari Sultan Rp 122.500
Total Rp 0 (nihil)
Setelah sekian lama mengikuti alur pikiran Sultan dan para pembantunya
terkait “Subsidi MB” ini, KKG sudah paham benar bagaimana cara Para
Pembantu Sultan menyampaikan dan menyembunyikan informasi yang membodohi
masyarakat ini. Lagi-lagi KKG mengintip Nota Keuangan Sultan dan
membeberkannya sebagai berikut:
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 240.000 (60 unit @ Rp 4.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 122.500 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 117.500
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 240.000 (60 unit @ Rp 4.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 122.500 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 117.500
Dari Nota Keuangan Sultan dapat dibaca bahwa keuangan Sultan sebenarnya
mengalami Surplus yang lebih besar dari tahun sebelumnya, yaitu dari Rp
95.000 menjadi Rp 117.500, akibat kenaikan harga domestik yang
disesuaikan dengan kenaikan harga internasional, yaitu Rp 1.000 per
unit, meskipun jumlah Produk MB yang diterima oleh Sultan (dari bagi
hasil kelola tanah dengan Mitra Asing) turun dari 70 unit menjadi 60
unit dan jumlah impor naik dari 0 unit menjadi 15 unit.
Para Pembantu Sultan sekali lagi mensosialisasikan bahwa Sultan
sebenarnya sangat bermurah hati karena meningkatkan jumlah “Subsidi MB”
dari Rp 115.000 menjadi Rp 122.500, meskipun ada kenaikan harga domestik
menjadi Rp. 2.500 per unit. Artinya, kenaikan harga domestik tersebut
sebenarnya tidak terlau besar untuk dapat mencukupi kenaikan harga
internasional serta kenaikan jumlah impor, di mana dapat dilihat dari
jumlah “Subsidi MB” yang masih meningkat. Tetapi, informasi bahwa
Surplus Produk MB mengalami peningkatan dari Rp 95.000 menjadi Rp
117.500 seperti terbaca dari Nota Keuangan Sultan, tidak akan pernah
terungkap apabila ekonom yang bernama KKG tidak menelanjanginya.
Masyarakat kini sudah mengerti benar duduk perkaranya, dan segera akan
meminta pendapat Majelis Para Rakyat atau Majelis Konstitusi Rakyat
untuk menurunkan fatwanya apakah Sultan boleh dengan seenaknya menaikkan
harga domestik Produk MB sesuai dengan harga internasional sedangkan
nyata-nyata Surplus di dalam Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
malah bertambah besar akibat kenaikan harga tersebut.
Kita tunggu jawaban Majelis Para Rakyat atau Majelis Konstitusi Rakyat,
dan kita lihat apakah mereka masih mempunyai rasa empati terhadap
Rakyat, dan pantas menyandang kata Rakyat dibelakang kata Majelis.
— Selesai —sumber
Thursday, 18 April 2013
Ruang Henti Khusus Sepeda Motor, emang udah Efektif?
01:34
Unknown
No comments
Per4an MM Bekasi |
Yups, RHK ntuh marka jalan yang dibuat di deket lampu merah (traffic light), sedikit di belakang zebra cross. Biasanye dikasih warna dasar merah sama dikasih tanda atau gambar sepeda motor warna putih.
RHK ntuh fasilitas buat sepeda motor buat berhenti di per4an selama lampu merah nyala. Selaen Bekasi, kota-kota yang juga ngebuat RHK antara lain Bandung, Bogor, sama Tangerang.
Tujuannye jelas, buat nertibin sepeda motor yang berhenti di lampu merah. jadi bisa meminimalisir resiko kecelakaan akibat dari penyerobotan jalan di masing-masing per4an. kaya yang udeh kite tahu, waktu lampu merah nyala, gak sedikit bikers yang malah berhenti di depan zebra cross.
Perilaku ngebahayain ini nih yang coba diturunin lewat RHK. Pertanyaannye sekarang, ape udah efektif keberadaan RHK buat pengguna sepeda motor? Sesuai fungsinye, aplikasi RHK udah sangat tepat, tapi justru masyarakat yang kurang peduli ame fitur keselamatan ini.
Dengan RHK pengendara bisa lebih tertib saat berhenti di perempatan. |
tapi, manfaat ntuh sendiri dikembali'in ke pengguna jalan yang bersangkutan. “Adanye fasilitas ini ga bakal jadi solusi kalo pemakai jalan tetep gak ngindahin. Belum lagi kadang ada mobil yang ikut-ikutan berhenti di RHK,“.
emang, udah seharusnye balik lagi ama kesadaran masyarakat sebagei pengguna jalan. balik ama kite, ape tetep gak mao tahu sama nerobos RHK? ape berlaku pinter dan matuhin aturan demi keselametan.
Dan tentunye jadi tanggung jawab buat kite semua buat ikut sosialisasi'in fitur keselametan berkendara ini. Yuk, manfaatin RHK sebageimane mestinye!!!